Mimpi Sedu
Karya Elfira Agustin
Aku adalah seorang anak melankonis.
Selalu ingin menangis tanpa tahu sebabnya. Kadang aku malu dilihat oleh orang
lain. Aku hanya butuh satu tempat yang nyaman, untuk merenung, memikirkan
sesuatu hal. Orang lain mungkin tidak akan pernah memahami, apa yang aku
rasakan. Orang lain hanya mengerti, inilah aku yang seperti terlihat sempurna.
Tapi, apa kalian tahu hati ini sedang terluka? Perasaan ini, batin ini, pikiran
ini, seperti tertekan oleh beban hidup yang tak akan ada habis.
Apa yang kalian tahu tentang latar
belakang kehidupan seorang sempurna sepertiku? Manusia cantik bertubuh tinggi,
berkulit putih, penampilan menarik dan cukup dipandang baik? Ya, kriteria itu
memang miliku. Kalian hanya memandang seseorang sekilas dari luarnya saja,
kalian tidak akan tahu latar belakang seseorang sesungguhnya. Begitu pula aku,
tidak tahu siapa kalian. Aku tidak ingin kalian mengenalku lebih dalam, karena
itu akan menambah rasa sakit ini. Aneh? Tertutup? Sudah banyak orang menilaiku
sedemikian rupa. Selalu aku berpikir jika ini adalah hidup yang harus aku atasi
dan aku tanggung sendiri walaupun pada dasarnya aku bukanlah malaikat terbaik
yang mampu melakukan segalanya.
Setiap orang selalu memiliki masalah
dalam hidupnya, harapanku hanya ingin masalah itu akan ada jalan
penyelesaiannya. Meskipun harus melewati perjalanan yang teramat sulit.
Seseorang yang berada di benakku selalu menghampiri setiap aku sedang dirundung
kesepian kala tawa sepanjang keramaian itu mulai menghilang. Air mata ini masih
setia menetes, meninggalkan jejak tanpa tuannya. Suara isak tangis yang memaksa
untuk berhenti terasa amat berat, hingga mengakibatkan hidung ini
kembang-kempis oleh udara tipis disekitar sesak napasku.
“Jangan bersedih lagi, apa yang
membuatmu terus bersedih seperti ini?” tanya pria berwajah putih salju,
berambut messy dan tubuh tinggi
sangat kurus.
Aku tidak menjawab, terus terobsesi pada
duniaku sendiri yang seakan mati. Pria itu terdiam, sepertinya dia sudah lelah
memperdulikanku. Baguslah, biar saja aku tetap seperti ini tanpa banyak orang
mengerti. Bagiku itu akan menambah sesak, aku akan selalu terbayang oleh cerita
sedu. Aku tidak kuat untuk melepaskan gelora dalam dadaku yang mencicit bagai
serangga kecil dalam kurungannya.
“Apa ada baiknya mengurung dirimu
sendiri? Apa ada yang tahu kalau kamu sedang sedih dan butuh sandaran? Aku di
sini selalu bertanya dan kamu terdiam menghabiskan waktu dengan bisu tanpa
pernah memperdulikan seberapa banyak rintik sedu yang sedang kamu kumpulkan
pada ruang pias wajah indahmu itu?” ternyata dugaanku salah, pria itu masih
saja kokoh menemani setiap sedih yang menjalari pikiranku dan menguras seluruh
tenagaku setiap detiknya.
Aku menggeleng, kali ini pria itu
menghembuskan napas lelah. Dia melihat aku sangat lekat, seolah aku adalah
lukisan indah yang sedang diabadikan untuk dinikmati. Sepasang kakinya merapat,
melurus untuk berselonjor dan bersandar pada diding yang sama denganku. Apa
maksudnya dia di sini? Aku merasa memiliki teman sedih, walau tak pernah bisa
aku membuncahkan amarah ini pada mereka, aku hanya ingin menyimpannya sendiri
dan memiliki seseorang di sampingku seperti detik ini.
Dia membelai rambutku dari samping,
diusapnya air mata ini yang terlalu sukses membawa bengkak di setiap sudut
mataku. Tanpa aku duga, tangan pria itu meraih kepalaku dengan hati-hati untuk
di bawanya bersandar pada pundak kokohnya. Aku mengikutinya, membiarkan seluruh
atmosfir tersita oleh waktu. Seberapa lama aku terdiam di posisi ini, hingga
tidak sadar semakin lama masalahku larut oleh kenyamanan.
“Jangan pergi... jangan pergi... aku
kesepian..” aku terus menggumam tidak jelas dengan suara lirih dan serak. Pria
di sampingku jelas mendengar, ia mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian
berbisik sangat tenang, “tidak akan pergi, kamu bersamaku, bukan bersama
kesepian.”
Tidur. Aku tertidur. Dan, keesokannya
aku akan terbangun dari mimpi buruk.
***
“Kurang satu bulan lagi aku akan
melaksanakan Ujian Nasional, aku tidak memiliki kemampuan dalam dua mata
pelajaran. Aku takut kalau nilaiku jelek dan semua mimpiku hilang. Terlalu
banyak beban yang sedang aku tanggung, Bon.”
“Kamu tidak dengar kedua orang tuaku
selalu meributkan pertikaian antara rumah tangga rumit ini? Aku jadi malas
bertemu laki-laki. Apalagi merasakan indahnya jatuh cinta. Hitam putih dalam
hidupku tidak ada. Semua terasa abu-abu dan tidak jelas, sampai sekarang aku
belum mempersiapkan diri. Jangan salahkan jika nilaiku jelek. Mereka saja juga
tidak pernah mengerti aku, Bon. Mereka tidak tahu sudah berapa banyak uang yang
aku keluarkan. Aku tidak pernah meminta mereka ketika sedang ada keperluan.
Tapi, aku masih anak pelajar yang sekali dapat kerja kemarin langsung merasa
tidak cocok karena berbeda dari keahlian aku.”
“Kenapa tidak ada orang yang mengerti
perasaan aku, Bon? Kenapa?”
Aku bertanya pada Boneka yang sedang
berada dalam pelukanku. Boneka kecil yang berwarna biru gelap itu senantiasa
menjadi teman ceritaku ketika sedang berada di kamar kecil ini. Seperti ada
badai yang sedang berperang dalam hatiku kala itu, isak tangis seorang anak
kecil terdengar keras sedang beradu mulut tanpa ada satu pun ingin mengalah dan
menghindar. Sama seperti keegoisan dalam diri manusia, kepala ini lagi-lagi
dipenuhi oleh gejala pening yang sudah tidak tahan lagi untuk tetap utuh,
sehingga letupan-letupan pecah pada tempatnya bersamaan dengan hari penyesalan
di alam dunia ini.
“Kita cerai saja, bila kamu tidak bisa
menerima dan kesusahan itu juga karena ulahmu.”
Aku mencuri-curi suara kecil dari
seberang sana, sudah kumarahi kedua anak kecil yang sedang beradu mulut serta
tangis. Aku kesal, merasa tidak ada gunanya, kurebahkan tubuh untuk mengambil
benda pipih dan mengenakan earphone
sebagai gantinya pikiran rumit ini agar segera bergeser oleh ketenangan.
Begitulah caraku untuk mengusir sedih, aku juga tidak ingin menangis dalam
kondisi seperti ini. Ketakutan yang salama ini aku hindari akan benar terjadi.
Keluargaku semakin hancur.
Adikku tidak pernah akur.
Sekolahku juga semakin hancur.
Sikap acuhku menjadi boomerang.
Tidak ada yang tersisa dari kesedihan
ini selain sedih dan sedih.
Siapa yang bisa mengerti? Uang sekolah
belum juga dibayar, uang ujian, uang yang telah aku pakai dari teman-teman
karena kegiatan tak terduga, uang untuk meminjami kedua orang tuaku dalam
kehidupan makan bila tidak ada. Uang untuk kesejahteraan hidup setiap harinya,
uang jajan, uang listrik, hutang di arisan temannya. Akh... ini terlalu tentang
materi. Apa sesulit itu hidup mencari materi yang matang? Kenapa harus ada aku
di dunia ini jika materi belum matang?
Tidak, aku harus selalu bersyukur. Sudah
aku lakukan setiap hari untuk menyingkirkan segala pikiran buruk dan selalu
bersikap jika masalah itu tidak ada. Yang ada hanya rasa syukur dan senyum
palsu sebagai ibadah katanya.
“Prestasi kamu turun dan semua nilai
kamu turun, ada apa sebenarnya sama kamu?”
Hah? Aku terkejut saat mereka bilang
seperti itu. Sungguh aku ingin menangis, tidak pernahkah kalian sadar telah
membuat tekanan hidupku? Aku ini terlalu melankonis, sampai-sampai aku menangis
dan menjadi bayang-bayang pertanyaan.
“Aku butuh cinta... cinta seseorang yang
bisa menemani aku agar melupakan segala kesedihan dan mengobati dengan kasih
sayang.”
***
“Akhhh...”
Terbangun.
Apa yang telah aku mimpikan selalu saja
tetap sama. Aku sudah meminta, tapi tak pernah kau berikan. Seberapa jauh lagi
aku terus memimpikan setiap perjalanan sedu ini? Dititik mana aku akan berhenti
berjuang sendiri? Aku terdiam meneliti ruangan hampa yang diselabuti oleh
sarang dan begitu polos dinding bercat putih ini. Aku sadar, selama ini terlalu
banyak ilusi yang meninggalkan cerita. Selama ini terlalu banyak bayangan yang
tak pernah nyata hadir di setiap imajinasiku saja. Selama ini juga aku terlalu
mengurung diri dalam lingkup sempit.
Lepas. Aku ingin terlepas dalam dosa kebohongan
ini. Berpura-pura baik saja itu terlalu munafik. Pikiran dan hatiku sedang
sakit. Satu minggu lagi aku akan melaksanakan hidup dan mati untuk menjelang
masa depan. Jika waktu telah merenggut segala mimpiku, maka aku tak akan pernah
bisa diam membiarkan mimpi itu termakan waktu. Aku harus bangkit melawan dunia.
Cinta itu tidak akan pernah datang.
Percayalah, sekarang aku sedang tidak percaya dengan cinta. Aku sudah tidak
percaya lagi akan ada kebahagiaan, karena yang aku rasa selalu sedih. Aku
menepi pada daratan yang bisa menghapus air. Aku tidak akan lagi tenggelam pada
masa pahit. Cukup hidup ini saja sudah hambar dan pahit. Oleh sebab itu, kubur
saja harapanmu untuk memiliki teman hidup selagi aku masih belum bisa menemukan
kepercayaan dalam hal cinta.
“Aduh, sakit!” aku meringis saat jatuh
menyentuh aspal panas dan kasar itu. Seperti hidup yang selalu kasar padaku.
“Bangunlah, aku tidak suka sama
perempuan yang jatuh hanya karena tidak percaya diri untuk melihat kedepan.”
Aku mendengar suara serak bernada dingin
dari khas seorang pria. Perlahan kukibaskan rambut panjang ini yang selalu
menutupi wajah cantikku dari pandangan di depan. Sehingga aku mendongak menatap
langit biru, lebih tepatnya ada seseorang yang sedang berdiri di antara langit
biru itu.
Dia ada menawarkan rasa percaya diri
kepadaku. Di saat itu aku merasa dunia ini sedang ingin melihatku percaya diri
kembali. Jika memang dia bukanlah bagian dari mimpi seduku lagi, tolong buat
aku percaya diri. Agar aku merasa mimpi sedu itu akan hilang. Agar aku tidak
iri kepada mereka yang memiliki teman hidup. Agar aku terhapus dari setiap
mimpi untuk menerawang wajah tampan seorang pria dan membohongi diri jika aku
adalah kekasih diri sendiri.
Di saat itu, aku menerima uluran tangan
seorang pria tampan yang terkena terpaan sinar matahari. Pria itu seolah
menularkan sebuah sinar untuk menghapus mimpi seduku. Apalagi saat aku
menyentuh senyumnya yang terasa amat nyata. Benar, dia nyata dan bukan lagi
mimpi dalam teman tidurku yang semu. Bukan lagi bayangan yang aku ciptakan
sendiri.
“Namaku, Langitan Kalvano.”